Laman

Kumpulan askep

Thursday, April 05, 2012

Askep cidera kepala ringan


CIDERA KEPALA
PENGERTIAN
Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.

PATOFISIOLOGI
Cidera kepala TIK - oedem
- hematom
Respon biologi Hypoxemia
Kelainan metabolisme
Cidera otak primer Cidera otak sekunder
Kontusio
Laserasi Kerusakan Sel otak


Gangguan autoregulasi rangsangan simpatis Stress

Aliran darah keotak tahanan vaskuler katekolamin
Sistemik & TD sekresi asam lambung

O2 ggan metabolisme tek. Pemb.darah Mual, muntah
Pulmonal

Asam laktat tek. Hidrostatik Asupan nutrisi kurang

Oedem otak kebocoran cairan kapiler

Ggan perfusi jaringan oedema paru cardiac out put
Cerebral
Difusi O2 terhambat Ggan perfusi jaringan

Gangguan pola napas hipoksemia, hiperkapnea
Cidera otak primer:
Adalah kelainan patologi otak yang timbul segera akibat langsung dari trauma. Pada cidera primer dapat terjadi: memar otak, laserasi.
Cidera otak sekunder:
Adalah kelainan patologi otak disebabkan kelainan biokimia, metabolisme, fisiologi yang timbul setelah trauma.
Proses-proses fisiologi yang abnormal:
  • Kejang-kejang
  • Gangguan saluran nafas
  • Tekanan intrakranial meningkat yang dapat disebabkan oleh karena:
    • edema fokal atau difusi
    • hematoma epidural
    • hematoma subdural
    • hematoma intraserebral
    • over hidrasi
  • Sepsis/septik syok
  • Anemia
  • Shock
Proses fisiologis yang abnormal ini lebih memperberat kerusakan cidera otak dan sangat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas.

Perdarahan yang sering ditemukan:
  • Epidural hematom:
Terdapat pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan duramater akibat pecahnya pembuluh darah/cabang-cabang arteri meningeal media yang terdapat di duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena itu sangat berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1 – 2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu dilobus temporalis dan parietalis.
Tanda dan gejala:
penurunan tingkat kesadaran, nyeri kepala, muntah, hemiparesa. Dilatasi pupil ipsilateral, pernapasan dalam dan cepat kemudian dangkal, irreguler, penurunan nadi, peningkatan suhu.

  • Subdural hematoma
Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena/jembatan vena yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut terjadi dalam 48 jam – 2 hari atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan.
Tanda dan gejala:
Nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, berfikir lambat, kejang dan edema pupil.
  • Perdarahan intraserebral
Perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri, kapiler, vena.
Tanda dan gejala:
Nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi pernapasan, hemiplegi kontralateral, dilatasi pupil, perubahan tanda-tanda vital.
  • Perdarahan subarachnoid:
Perdarahan didalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang hebat.
Tanda dan gejala:
Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil ipsilateral dan kaku kuduk.

Penatalaksanaan:
Konservatif
  • Bedrest total
  • Pemberian obat-obatan
  • Observasi tanda-tanda vital dan tingkat kesadaran.

Pengkajian
BREATHING
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas.
BLOOD:
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).
BRAIN
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :
  • Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
  • Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.
  • Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
  • Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
  • Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
  • Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
BLADER
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri, ketidakmampuan menahan miksi.
BOWEL
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi.

BONE
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.


Pemeriksaan Diagnostik:
  • CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
  • Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
  • X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan / edema), fragmen tulang.
  • Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
  • Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrakranial.

Prioritas perawatan:
  1. memaksimalkan perfusi/fungsi otak
  2. mencegah komplikasi
  3. pengaturan fungsi secara optimal/mengembalikan ke fungsi normal.
  4. mendukung proses pemulihan koping klien/keluarga
  5. pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana pengobatan, dan rehabilitasi.

DIAGNOSA KEPERAWATAN:
  1. Perubahan perfusi jaringan serebral b.d penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung)
  2. Resiko tinggi pola napas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi trakeobronkhial.
  3. Perubahan persepsi sensori b. d perubahan transmisi dan/atau integrasi (trauma atau defisit neurologis).
  4. Perubahan proses pikir b. d perubahan fisiologis; konflik psikologis.
  5. Kerusakan mobilitas fisik b. d kerusakan persepsi atau kognitif. Penurunan kekuatan/tahanan. Terapi pembatasan /kewaspadaan keamanan, misal: tirah baring, imobilisasi.
  6. Resiko tinggi terhadap infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid). Perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS)
  7. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b. d perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat kesadaran). Kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan. Status hipermetabolik.
  8. Perubahan proses keluarga b. d transisi dan krisis situasional. Ketidak pastian tentang hasil/harapan.
  9. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan b. d kurang pemajanan, tidak mengenal informasi. Kurang mengingat/keterbatasan kognitif.
RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
  1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung)
Tujuan:
  • Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan fungsi motorik/sensorik.
Kriteria hasil:
  • Tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK
Intervensi
Rasional
Tentukan faktor-faktor yg menyebabkan koma/penurunan perfusi jaringan otak dan potensial peningkatan TIK.
Pantau /catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar GCS.
Evaluasi keadaan pupil, ukuran, kesamaan antara kiri dan kanan, reaksi terhadap cahaya.



Pantau tanda-tanda vital: TD, nadi, frekuensi nafas, suhu.






Pantau intake dan out put, turgor kulit dan membran mukosa.




Turunkan stimulasi eksternal dan berikan kenyamanan, seperti lingkungan yang tenang.
Bantu pasien untuk menghindari /membatasi batuk, muntah, mengejan.
Tinggikan kepala pasien 15-45 derajad sesuai indikasi/yang dapat ditoleransi.
Batasi pemberian cairan sesuai indikasi.

Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.

Berikan obat sesuai indikasi, misal: diuretik, steroid, antikonvulsan, analgetik, sedatif, antipiretik.
Penurunan tanda/gejala neurologis atau kegagalan dalam pemulihannya setelah serangan awal, menunjukkan perlunya pasien dirawat di perawatan intensif.

Mengkaji tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP.

Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial okulomotor (III) berguna untuk menentukan apakah batang otak masih baik. Ukuran/ kesamaan ditentukan oleh keseimbangan antara persarafan simpatis dan parasimpatis. Respon terhadap cahaya mencerminkan fungsi yang terkombinasi dari saraf kranial optikus (II) dan okulomotor (III).
Peningkatan TD sistemik yang diikuti oleh penurunan TD diastolik (nadi yang membesar) merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK, jika diikuti oleh penurunan kesadaran. Hipovolemia/hipertensi dapat mengakibatkan kerusakan/iskhemia cerebral. Demam dapat mencerminkan kerusakan pada hipotalamus. Peningkatan kebutuhan metabolisme dan konsumsi oksigen terjadi (terutama saat demam dan menggigil) yang selanjutnya menyebabkan peningkatan TIK.
Bermanfaat sebagai ndikator dari cairan total tubuh yang terintegrasi dengan perfusi jaringan. Iskemia/trauma serebral dapat mengakibatkan diabetes insipidus. Gangguan ini dapat mengarahkan pada masalah hipotermia atau pelebaran pembuluh darah yang akhirnya akan berpengaruh negatif terhadap tekanan serebral.
Memberikan efek ketenangan, menurunkan reaksi fisiologis tubuh dan meningkatkan istirahat untuk mempertahankan atau menurunkan TIK.

Aktivitas ini akan meningkatkan tekanan intrathorak dan intraabdomen yang dapat meningkatkan TIK.

Meningkatkan aliran balik vena dari kepala sehingga akan mengurangi kongesti dan oedema atau resiko terjadinya peningkatan TIK.

Pembatasan cairan diperlukan untuk menurunkan edema serebral, meminimalkan fluktuasi aliran vaskuler TD dan TIK.
Menurunkan hipoksemia, yang mana dapat meningkatkan vasodilatasi dan volume darah serebral yang meningkatkan TIK.
Diuretik digunakan pada fase akut untuk menurunkan air dari sel otak, menurunkan edema otak dan TIK,. Steroid menurunkan inflamasi, yang selanjutnya menurunkan edema jaringan. Antikonvulsan untuk mengatasi dan mencegah terjadinya aktifitas kejang. Analgesik untuk menghilangkan nyeri . Sedatif digunakan untuk mengendalikan kegelisahan, agitasi. Antipiretik menurunkan atau mengendalikan demam yang mempunyai pengaruh meningkatkan metabolisme serebral atau peningkatan kebutuhan terhadap oksigen.
  1. Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi trakeobronkhial.
Tujuan:
    • mempertahankan pola pernapasan efektif.
Kriteria evaluasi:
    • bebas sianosis, GDA dalam batas normal
Intervensi
Rasional
Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat ketidakteraturan pernapasan.
Pantau dan catat kompetensi reflek gag/menelan dan kemampuan pasien untuk melindungi jalan napas sendiri. Pasang jalan napas sesuai indikasi.
Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miirng sesuai indikasi.
Anjurkan pasien untuk melakukan napas dalam yang efektif bila pasien sadar.
Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-15 detik. Catat karakter, warna dan kekeruhan dari sekret.


Auskultasi suara napas, perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya suara tambahan yang tidak normal misal: ronkhi, wheezing, krekel.
Pantau analisa gas darah, tekanan oksimetri
Lakukan ronsen thoraks ulang.

Berikan oksigen.



Lakukan fisioterapi dada jika ada indikasi.
Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi pulmonal atau menandakan lokasi/luasnya keterlibatan otak. Pernapasan lambat, periode apnea dapat menandakan perlunya ventilasi mekanis.
Kemampuan memobilisasi atau membersihkan sekresi penting untuk pemeliharaan jalan napas. Kehilangan refleks menelan atau batuk menandakan perlunaya jalan napas buatan atau intubasi.



Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan menurunkan adanya kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat jalan napas.

Mencegah/menurunkan atelektasis.



Penghisapan biasanya dibutuhkan jika pasien koma atau dalam keadaan imobilisasi dan tidak dapat membersihkan jalan napasnya sendiri. Penghisapan pada trakhea yang lebih dalam harus dilakukan dengan ekstra hati-hati karena hal tersebut dapat menyebabkan atau meningkatkan hipoksia yang menimbulkan vasokonstriksi yang pada akhirnya akan berpengaruh cukup besar pada perfusi jaringan.
Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru seperti atelektasis, kongesti, atau obstruksi jalan napas yang membahayakan oksigenasi cerebral dan/atau menandakan terjadinya infeksi paru.


Menentukan kecukupan pernapasan, keseimbangan asam basa dan kebutuhan akan terapi.
Melihat kembali keadaan ventilasi dan tanda-tandakomplikasi yang berkembang misal: atelektasi atau bronkopneumoni.
Memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan membantu dalam pencegahan hipoksia. Jika pusat pernapasan tertekan, mungkin diperlukan ventilasi mekanik.
Walaupun merupakan kontraindikasi pada pasien dengan peningkatan TIK fase akut tetapi tindakan ini seringkali berguna pada fase akut rehabilitasi untuk memobilisasi dan membersihkan jalan napas dan menurunkan resiko atelektasis/komplikasi paru lainnya.
  1. Resiko tinggi terhadap infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid). Perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS)
Tujuan:
Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi.
Kriteria evaluasi:
Mencapai penyembuhan luka tepat waktu.
Intervensi
Rasional
Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan tehnik cuci tangan yang baik.
Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang terpasang alat invasi, catat karakteristik dari drainase dan adanya inflamasi.
Pantau suhu tubuh secara teratur, catat adanya demam, menggigil, diaforesis dan perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran).
Anjurkan untuk melakukan napas dalam, latihan pengeluaran sekret paru secara terus menerus. Observasi karakteristik sputum.
Berikan antibiotik sesuai indikasi
Cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi nosokomial.


Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan tindakan dengan segera dan pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya.



Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya memerlukan evaluasi atau tindakan dengan segera.



Peningkatan mobilisasi dan pembersihan sekresi paru untuk menurunkan resiko terjadinya pneumonia, atelektasis.



Terapi profilatik dapat digunakan pada pasien yang mengalami trauma, kebocoran CSS atau setelah dilakukan pembedahan untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi nosokomial.

Daftar pustaka

Abdul Hafid (1989), Strategi Dasar Penanganan Cidera Otak. PKB Ilmu Bedah XI – Traumatologi , Surabaya.

Doenges M.E. (2000), Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3 . EGC. Jakarta.

Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong (1997), Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC, Jakarta.


Askep CKB


asuhan keperawatan pada pasien cidera kepala sedang

  1. Pengertian
Cidera kepala adalah kerusakan neurologi yang terjadi akibat adanya trauma pada jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun efek sekunder dari trauma yang terjadi (sylvia anderson Price, 1985)
Disebut cedera kepala sedang bila GCS 9-12, kehilangan kesadaran atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam bahkan sampai berhari-hari. Resiko utama pasien yang mengalami cedera kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan TIK.

  1. patofisiologi
Cedera kulit kepala
Karena bagian ini banyak mengandung pembuluh darah, kulit kepala berdarah bila mengalami cedera dalam. Kulit kepala juga merupakan tempat masuknya infeksi intrakranial. Trauma dapat menimbulkan abrasi, kontisio, laserasi atau avulsi.

Fraktur tengkorak
Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuitas tulang tengkorak disebabkan oleh trauma. Ini dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak. Adanya fraktur tengkorak biasanya dapat menimbulkan dampak tekanan yang kuat. Fraktur tengkorak diklasifikasikan terbuka/tertutup. Bila fraktur terbuka maka dura rusak dan fraktur tertutup dura tidak rusak. Fraktur kubah kranial menyebabkan bengkak pada sekitar fraktur dan karena alasan yang kurang akurat tidak dapat ditetapkan tanpa pemeriksaan dengan sinar X, fraktur dasar tengkorak cenderung melintas sinus paranasal pada tulang frontal atau lokasi tengah telinga di tulang temporal, juga sering menimbulkan hemorragi dari hidung, faring atau telinga dan darah terlihat di bawah konjungtiva. Fraktur dasar tengkorak dicurigai ketika CSS keluar dari telinga dan hidung.
Cidera otak
Kejadian cedera “ Minor “ dapat menyebabkan kerusakan otak bermakna. Otak tidak dapat menyimpan oksigen dan glukosa sampai derajat tertentu yang bermakna sel-sel cerebral membutuhkan supalai darah terus menerus untuk memperoleh makanan. Kerusakan otak tidak dapat pulih dan sel-sel mati dapat diakibatkan karena darah yang mengalir tanpa henti hanya beberapa menit saja dan kerusakan neuron tidak dapat mengalami regenerasi.

Komosio
Komosio cerebral setelah cedera kepala adalah kehilangan fase neuologik sementara tanpa kerusakan struktur. Jika jaringan otak dan lobus frontal terkena, pasien dapat menunjukkan perilaku yang aneh dimana keterlibatan lobus temporal dapat menimbulkan amnesia disoreantasi.

Kontusio
Kontusio cerebral merupakan CKB, dimana otak mengalami memar dan kemungkinan adanya daerah hemoragi. Pasien berada pada periode tidak sadarkan diri. Pasien terbaring kehilangan gerakan, denyut nadi lemah, pernafasan dangkal, kulit dingin dan pucat.

Hemoragi cranial
Hematoma ( pengumpulan darah ) yang terjadi dalam tubuh kranial adalah akibat paling serius dari cedera kepala. Ada 3 macam hematoma :
  1. Hematoma Epidural (hematoma Ekstradural)
Setelah terjadi cedera kepala, darah berkumpul di dalam ruang epidural (ekstradural) diantara tengkorak di dura. Keadaan ini sering diakibatkan dari fraktur tulang tengkorak yang menyebabkan arteri meningkat tengah putus atau rusak (laserasi), dimana arteri ini berada diantara dura dan tengkorak daerah frontal inferior menuju bagian tipis tulang temporal, hemoragi karena arteri ini menyebabkan penekanan pada otak.

  1. hematoma subdural
hematoma subdural adalah pengumpulan darah diantara dura dan dasar otak, yang pada keadaan normal diisi oleh cairan. Hemoragi sub dural lebih sering terjadi pada vena dan merupakan akibat putusnya pembuluh darah kecil yang menjembatani ruang subdural. Hematoma subdural dapat terjadi akut, sub akut atau kronik tergantung pada ukuran pembuluh darah yang terkena dan jumlah perdarahan yang ada. Hematoma subdural akut: dihubungkan dengan cedera kepala mayor yang meliputi kkontusio atau laserasi. Hematoma subdural subakut: sekrela kontusio sedikit berat dan dicurigai pada bagian yang gagal untuk menaikkan kesadaran setelah trauma kepala. Hematoma subdural kronik: dapat terjadi karena cedera kepala minor dan terjadi paling sering pada lansia. Lansia cenderung mengalami cedera tipe ini karena atrofi otak, yang diperkirakan akibat proses penuaan.

  1. Hemoragi Intra cerebral dan hematoma
hematoma intracerebral adalah perdarahan ke dalam substansi otak. Hemoragi ini biasanya terjadi pada cedera kepala dimana tekanan mendesak kepala sampai daerah kecil. Hemoragi in didalam menyebabkan degenerasi dan ruptur pembuluh darah, ruptur kantong aneorima vasculer, tumor infracamal, penyebab sistemik gangguan perdarahan.
Trauma otak mempengaruhi setiap sistem tubuh. Manifestasi klinis cedera otak meliputi :
          • Gangguan kesadaran
          • Konfusi
          • Sakit kepala, vertigo, gangguan pergerakan
          • Tiba-tiba defisit neurologik
          • Perubahan TTV
          • Gangguan penglihatan
          • Disfungsi sensorik
          • lemah otak


  1. P
    Trauma kepala
    ATHWAYS


Ekstra kranial
Tulang kranial
Intra kranial



Terputusnya kontinuitas jaringan kulit, otot dan vaskuler
Terputusnya kontinuitas jaringan tulang
Jaringan otak rusak (kontusio, laserasi)




Gangguan suplai darah


  • Perubahan autoregulasi
  • Oedema serebral
Resiko infeksi
Nyeri


  • Perdarahan
  • hematoma


Iskemia


Hipoksia
Perubahan perfusi jaringan
kejang




Perubahan sirkulasi CSS
Gangg. Fungsi otak
Gangg. Neurologis fokal
  • Bersihan jln nafas
  • Obstruksi jln. Nafas
  • Dispnea
  • Henti nafas
  • Perubahan. Pola nafas



Peningkatan TIK
  • Mual-muntah
Papilodema
Pandangan kabur
Penurunan fungsi pendengaran
Nyeri kepala




Defisit neurologis


Girus medialis lobus temporalis tergeser



Resiko kurangnya volume cairan
Gangg. Persepsi sensori
Resiko tidak efektif jln. Nafas


Herniasi unkus


Tonsil cerebrum tergeser
Kompresi medula oblongata



Messenfalon tertekan
Resiko injuri
Resiko gangg. Integritas kulilt



immobilitasi
Gangg. 
 kesadaran


cemas
Kurangnya perawatan diri


     
     
     
     
     

4 Tanda Gejala

Pusat pernafasan diciderai oleh peningkatan TIK dan hipoksia, trauma langsung atau interupsi aliran darah. Pola pernafasan dapat berupa hipoventilasi alveolar, dangkal.
    • Kerusakan mobilitas fisik
Hemisfer atau hemiplegi akibat kerusakan pada area motorik otak.
    • Ketidakseimbangan hidrasi
Terjadi karena adanya kerusakan kelenjar hipofisis atau hipotalamus dan peningkatan TIK
    • Aktifitas menelan
Reflek melan dari batang otak mungkin hiperaktif atau menurun sampai hilang sama sekali
    • Kerusakan komunikasi
Pasien mengalami trauma yang mengenai hemisfer serebral menunjukkan disfasia, kehilangan kemampuan untuk menggunakan bahasa.

  1. PEMERIKSAAN PENUNJANG
    • CT Scan
    • Ventrikulografi udara
    • Angiogram
    • Diagnostik Peritoneal Lavage (DPL)
    • Ultrasonografi

  1. penatalaksanaan
        1. Air dan Breathing
          • Perhatian adanya apnoe
          • Untuk cedera kepala berat lakukan intubasi endotracheal. Penderita mendapat ventilasi dengan oksigen 100% sampai diperoleh AGD dan dapat dilakukan penyesuaian yang tepat terhadap FiO2.
          • Tindakan hiperventilasi dilakukan hati-hati untuk mengoreksi asidosis dan menurunkan secara cepat TIK pada penderita dengan pupil yang telah berdilatasi. PCO2 harus dipertahankan antara 25-35 mmhg.
        2. Circulation
Hipotensi dan hipoksia adalah merupakan penyebab utama terjadinya perburukan pada CKS. Hipotensi merupakan petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat, walaupun tidak tampak. Jika terjadi hipotensi maka tindakan yang dilakukan adalah menormalkan tekanan darah. Lakukan pemberian cairan untuk mengganti volume yang hilang sementara penyebab hipotensi dicari.
        1. disability (pemeriksaan neurologis)
          • Pada penderita hipotensi pemeriksaan neurologis tidak dapat dipercaya kebenarannya. Karena penderita hipotensi yang tidak menunjukkan respon terhadap stimulus apapun, ternyata menjadi normal kembali segera tekanan darahnya normal
          • Pemeriksaan neurologis meliputi pemeriksaan GCS dan reflek cahaya pupil

  1. pengkajian primer
            1. Airway
Kaji adanya obstruksi jalan antara lain suara stridor, gelisah karena hipoksia, penggunaan otot bantu pernafasan, sianosis
            1. Breathing
Inspeksi frekuensi nafas, apakah terjadi sianosis karena luka tembus dada, fail chest, gerakan otot pernafasan tambahan. Kaji adanya suara nafas tambahan seperti ronchi, wheezing.
            1. Sirkulasi
Kaji adanya tanda-tanda syok seperti: hipotensi, takikardi, takipnea, hipotermi,pucat, akral dingin, kapilari refill>2 detik, penurunan produksi urin.
            1. Disability
Kaji tingkat kesadaran pasien serta kondisi secara umum.
            1. Eksposure
Buka semua pakaian klien untuk melihat adanya luka.
  1. pengkajian skunder
          • Kepala
Kelainan atau luka kulit kepala dan bola mata, telinga bagian luar dan membrana timpani, cedera jaringan lunak periorbital
          • Leher
Adanya luka tembus leher, vena leher yang mengembang
          • Neurologis
Penilaian fungsi otak dengan GCS
          • Dada
Pemeriksaan klavikula dan semua tulang iga, suara nafas dan jantung, pemantauan EKG
          • Abdomen
Kaji adanya luka tembus abdomen, pasang NGT dengan trauma tumpul abdomen
          • Pelvis dan ekstremitas
Kaji adanya fraktur, denyut nadi perifer pada daerah trauma, memar dan cedera yang lain

  1. diagnoasa keperawatan yang muncul
        1. Gangguan perfusi jaringan serebral b.d penurunan aliran darah ke serebral, edema serebral
        2. Pola nafas tidak efektif b.d kerusakan neuro muskuler (cedera pada pusat pernafasan otak, kerusakan persepsi /kognitif)
        3. Kerusakan pertukaran gas b.d hilangnya control volunteer terhadap otot pernafasan
        4. Inefektif bersihan jalan nafas b.d akumulasi sekresi, obstruksi jalan nafas
        5. Gangguan pola nafas b.d adanya depresi pada pusat pernafasan
        6. Resiko Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d penurunan kesadaran
        7. Resiko cedera b.d kejang, penurunan kesadaran
        8. Gangguan eliminasi urin b.d kehilangan control volunteer pada kandung kemih



  1. rencana keperawatan
        1. Diagnosa : gangguan perfusi jaringan serebral b.d penurunan aliran darah ke serebral, edema serebral
Tujuan : mempertahankan tingkat kesadaran, kognisi dan fungsi motorik dan sensorik
Intervensi :
          • Kaji faktor penyebab penurunan kesadaran dan peningkatan TIK
          • Monitor status neurologis
          • Pantau tanda-tanda vital dan peningkatan TIK
          • Evaluasi pupil, batasan dan proporsinya terhadap cahaya
          • Letakkan kepala dengan posisi 15-45 derajat lebih tinggi untuk mencegah peningkatan TIK
          • Kolaburas pemberian oksigen sesuai dengan indikasi, pemasangan cairan IV, persiapan operasi sesuai dengan indikasi

        1. Diagnosa : Pola nafas tidak efektif b.d kerusakan neuro muskuler (cedera pada pusat pernafasan otak, kerusakan persepsi /kognitif)
Tujuan : pola nafas pasien efektif
Intervensi :
          • Kaji pernafasan (irama, frekuensi, kedalaman) catat adanya otot bantu nafas
          • Kaji reflek menelan dan kemampuan mempertahankan jalan nafas
          • Tinggikan bagian kepala tempat tidur dan bantu perubahan posisi secara berkala
          • Lakukan pengisapan lendir, lama pengisapan tidak lebih dari 10-15 detik
          • Auskultasi bunyi paru, catat adanya bagian yang hipoventilasi dan bunyi tambahan(ronchi, wheezing)
          • Catat pengembangan dada
          • Kolaburasi : awasi seri GDA, berikan oksigen tambahan melalui kanula/ masker sesuai dengan indikasi
          • Monitor pemakaian obat depresi pernafasan seperti sedatif
          • Lakukan program medik
        1. Diagnosa : kerusakan pertukaran gas b.d hilangnya control volunteer terhadap otot pernafasan
tujuan : pasien mempertahankan oksigenasi adekuat
intervensi :
    • Kaji irama atau pola nafas
    • Kaji bunyi nafas
    • Evaluasi nilai AGD
    • Pantau saturasi oksigen

        1. Diagnosa : Inefektif bersihan jalan nafas b.d akumulasi sekret, obstruksi jalan nafas
Tujuan : mempertahankan potensi jalan nafas
intervensi :
          • Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas misal krekels, mengi, ronchi
          • Kaji frekuensi pernafasan
          • Tinggikan posisi kepala tempat tidur sesuai dengan indikasi
          • Lakukan penghisapan lendir bila perlu, catat warna lendir yang keluar
          • Kolaburasi : monitor AGD

        1. Diagnosa : resiko cedera b.d penurunan kesadaran
tujuan : tidak terjadi cedera pada pasien selama kejang, agitasi atu postur refleksif
intervensi :
          • Pantau adanya kejang pada tangan, kaki, mulut atau wajah
          • Berikan keamanan pada pasien dengan memberikan penghalang tempat tidur
          • Berikan restrain halus pada ekstremitas bila perlu
          • Pasang pagar tempat tidur
          • Jika terjadi kejang, jangan mengikat kaki dan tangan tetapi berilah bantalan pada area sekitarnya. Pertahankan jalan nafas paten tapi jangan memaksa membuka rahang
          • Pertahankan tirah baring

        1. Resiko Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d penurunan kesadaran
Tujuan : tidak terjadi kekurangan kebutuhan nutrisi tepenuhi
Intervensi :
    • Pasang pipa lambung sesuai indikasi, periksa posisi pipa lambung setiap akan memberikan makanan
    • Tinggikan bagian kepala tempat tidur setinggi 30 derajat untuk mencegah terjadinya regurgitasi dan aspirasi
    • Catat makanan yang masuk
    • Kaji cairan gaster, muntahan
    • Kolaburasi dengan ahli gizi dalam pemberian diet yang sesuai dengan kondisi pasien
    • Laksanakan program medik

        1. Diagnosa : Gangguan eliminasi urin b.d hilangnya control volunter pada kandung kemih
tujuan : mempertahankan urin yang adekuat, tanpa retensi urin
intervensi :
          • Kaji pengeluaran urin terhadap jumlah, kualitas dan berat jenis
          • Periksa residu kandung kemih setelah berkemih
          • Pasang kateter jika diperlukan, pertahankan teknik steril selama pemasangan untuk mencegah infeksi

HERNIA INGUINALIS

    1. Pengertian
Hernia Inguinalis adalah Sutu penonjolan kandungan ruangan tubuh melalui dinding yang dalam keadaannormal tertutup. ( Richard E, 1992 )
Hernia Inguinalis adalah prolaps sebagian usus ke dalam anulus inginalis di atas kantong skrotum, disebabkan oleh kelemahan atau kegagalan menutup yang bersifat kongenital. ( Cecily L. Betz, 1997)

    1. Etiologi
Hernia Inguinalis di sebabkan oleh :
      1. Kelemahan atau kegagalan menutup yang bersifat kongenital
      2. Anomali Kongenital
      3. Sebab yang di dapat
      4. Adanya prosesus vaginalis yang terbuka
      5. Peninggian tekanan di dalam rongga perut
      6. Kelemahan dinding perut karena usia
      7. Anulus inguinalis yang cukup lama
    1. Manifestasi Klinis
        1. Menangis terus
        2. muntah
        3. Distensi Abdoman
        4. Feses berdarah
        5. Nyeri
        6. Benjolan yang hilang timbul di paha yang muncul pada waktu berdiri, batuk, bersin, atau megedan dan menghilang setelah berbaring
        7. Gelisah, kadang-kadang perut kembung
        8. Konstipasi
        9. Tidak ada flatus

    1. Patologi dan patogenesis
Selama tahap-tahap akhir perkembangan prosesus vaginalis janin, suatu penonjolan peritoneum yang berasal dari cincininterna terbentang ke arah medial serta menuruni setiap kanalis inguinalis. Setelahmeninggalkan kanalis tersebut pada cincin eksterna, maka prosesus tersebut pada pria akan berbelok ke bawah memasuki skrotum dan akan membungkus testis yang sedang berkembang. Lumen biasanya menutup dengan sempurna sebelum lahir kecuali pada bagian yang membungkus testis. Bagian tersebut akan tetap tinggal sebagai suatu kantung potensial tunika vaginalis. Pada wanita prosesus tersebut terbentang mulai dari cincin eksterna hingga ke dalam labia mayora. Bagian proximal prosesus vaginalis dapat mengalami kegagalan penutupan sehingga membentuk suatu kentung hernia dimana viskus abdomaen dapat memasukinya. Bagian yang tetap terbuka itu dapat membantang ke bawah kadang-kadang hingga ke dalam kantung testis dan dapat menyatu dengan tunuka vaginalis sehingga bersama-sama membentuk suatu hernia lengkap.
Hernia inguinalis terutama sering di temukan pada bayi prematur. Di duga karena lebih sedikitnya waktu perkembangna di dalam kandungan serta lebih sedikitnya waktu bagi penutupan seluruh penutupan seluruh prosesus tersebut. Jika testis gagal untuk turun ( Kriptorkoid ), maka biasanya terdapat kantung hernia yang besar karena sesuatu telah menghentikan penurunan testis maupan penutupan prosesus peritoneum tersebut. Anak-anak dengan anomali kongnital terutama yang melibatkan daerah abdoman bagian bawah, pelvis atau perineum seringmempunyai hernia inguinalis sebagai bagian dari kompleks tersebut.













PATHWAY


Proximal prosesus vaginalis
Gagal menutup
Membentuk kantung hernia
Viskus abdomen masuk
Terbuka pindah lokasi p’ngkatan tek intra abdomen&kelemahan otot dinding trigonum HasselBach
testis turun keskrotum
Membentang dalam kantung testis menonjol kebelakang canalis inguinalis

Turun keinguinal

H. Medialis

Vasokontriksi vaskuler
Desakan/teka nan

Nyeri
Gg. rasa nyaman nyeri


Gg. rasa nyaman nyeri
Menyatu dg. Tunika vaginalis tdk menutupnya prosesus vaginalis
Vagianalis peritoneum
Hernia lengkap penonjolan perut di lateral pembuluh epigastrika inferior

Jepitan cincin hernia fenikulus spermatikus H.lateralis

Gg.perfusi jaringan
canalis inguinalis

pembesaran inguinal
Heriography

Post Herniography
Dampak anetesi

Gg. fi. Sirkulasi
Hipersalivasi
COP meningkat

TD&HR meningkat

Suplai O2 berkurang
Gg. perfusi jaringan

Penumpukan sekret
Obs. Jln nfs

B
Bersihan jln nfs
endungan vena
Bersihan jln nafas
Udem organ
Jepitan cincin hernia semakin bertambah H.Strangulata

Peredaran darah tergangguisi hernia nekrosis

Kantung transudat

Usus

Perforasi

Abses lokal
Peritonitis











DAFTAR PUSTAKA


    1. Core Principle and Practice of Medical Surgical Nursing. Ledmann’s.
    2. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi II. Medica Aesculaplus FK UI. 1998.
    3. Keperawatan Medikal Bedah. Swearingen. Edisi II. EGC. 2001.
    4. Keperawatan Medikal Bedah. Charlene J. Reeves, Bayle Roux, Robin Lockhart. Penerjemah Joko Setyono. Penerbit Salemba Media. Edisi I. 2002.


askep hernia inguinalis


HERNIA INGUINALIS

    1. Pengertian
Hernia Inguinalis adalah Sutu penonjolan kandungan ruangan tubuh melalui dinding yang dalam keadaannormal tertutup. ( Richard E, 1992 )
Hernia Inguinalis adalah prolaps sebagian usus ke dalam anulus inginalis di atas kantong skrotum, disebabkan oleh kelemahan atau kegagalan menutup yang bersifat kongenital. ( Cecily L. Betz, 1997)

    1. Etiologi
Hernia Inguinalis di sebabkan oleh :
      1. Kelemahan atau kegagalan menutup yang bersifat kongenital
      2. Anomali Kongenital
      3. Sebab yang di dapat
      4. Adanya prosesus vaginalis yang terbuka
      5. Peninggian tekanan di dalam rongga perut
      6. Kelemahan dinding perut karena usia
      7. Anulus inguinalis yang cukup lama
    1. Manifestasi Klinis
        1. Menangis terus
        2. muntah
        3. Distensi Abdoman
        4. Feses berdarah
        5. Nyeri
        6. Benjolan yang hilang timbul di paha yang muncul pada waktu berdiri, batuk, bersin, atau megedan dan menghilang setelah berbaring
        7. Gelisah, kadang-kadang perut kembung
        8. Konstipasi
        9. Tidak ada flatus

    1. Patologi dan patogenesis
Selama tahap-tahap akhir perkembangan prosesus vaginalis janin, suatu penonjolan peritoneum yang berasal dari cincininterna terbentang ke arah medial serta menuruni setiap kanalis inguinalis. Setelahmeninggalkan kanalis tersebut pada cincin eksterna, maka prosesus tersebut pada pria akan berbelok ke bawah memasuki skrotum dan akan membungkus testis yang sedang berkembang. Lumen biasanya menutup dengan sempurna sebelum lahir kecuali pada bagian yang membungkus testis. Bagian tersebut akan tetap tinggal sebagai suatu kantung potensial tunika vaginalis. Pada wanita prosesus tersebut terbentang mulai dari cincin eksterna hingga ke dalam labia mayora. Bagian proximal prosesus vaginalis dapat mengalami kegagalan penutupan sehingga membentuk suatu kentung hernia dimana viskus abdomaen dapat memasukinya. Bagian yang tetap terbuka itu dapat membantang ke bawah kadang-kadang hingga ke dalam kantung testis dan dapat menyatu dengan tunuka vaginalis sehingga bersama-sama membentuk suatu hernia lengkap.
Hernia inguinalis terutama sering di temukan pada bayi prematur. Di duga karena lebih sedikitnya waktu perkembangna di dalam kandungan serta lebih sedikitnya waktu bagi penutupan seluruh penutupan seluruh prosesus tersebut. Jika testis gagal untuk turun ( Kriptorkoid ), maka biasanya terdapat kantung hernia yang besar karena sesuatu telah menghentikan penurunan testis maupan penutupan prosesus peritoneum tersebut. Anak-anak dengan anomali kongnital terutama yang melibatkan daerah abdoman bagian bawah, pelvis atau perineum seringmempunyai hernia inguinalis sebagai bagian dari kompleks tersebut.













PATHWAY


Proximal prosesus vaginalis
Gagal menutup
Membentuk kantung hernia
Viskus abdomen masuk
Terbuka pindah lokasi p’ngkatan tek intra abdomen&kelemahan otot dinding trigonum HasselBach
testis turun keskrotum
Membentang dalam kantung testis menonjol kebelakang canalis inguinalis

Turun keinguinal

H. Medialis

Vasokontriksi vaskuler
Desakan/teka nan

Nyeri
Gg. rasa nyaman nyeri


Gg. rasa nyaman nyeri
Menyatu dg. Tunika vaginalis tdk menutupnya prosesus vaginalis
Vagianalis peritoneum
Hernia lengkap penonjolan perut di lateral pembuluh epigastrika inferior

Jepitan cincin hernia fenikulus spermatikus H.lateralis

Gg.perfusi jaringan
canalis inguinalis

pembesaran inguinal
Heriography

Post Herniography
Dampak anetesi

Gg. fi. Sirkulasi
Hipersalivasi
COP meningkat

TD&HR meningkat

Suplai O2 berkurang
Gg. perfusi jaringan

Penumpukan sekret
Obs. Jln nfs

B
Bersihan jln nfs
endungan vena
Bersihan jln nafas
Udem organ
Jepitan cincin hernia semakin bertambah H.Strangulata

Peredaran darah tergangguisi hernia nekrosis

Kantung transudat

Usus

Perforasi

Abses lokal
Peritonitis











DAFTAR PUSTAKA


    1. Core Principle and Practice of Medical Surgical Nursing. Ledmann’s.
    2. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi II. Medica Aesculaplus FK UI. 1998.
    3. Keperawatan Medikal Bedah. Swearingen. Edisi II. EGC. 2001.
    4. Keperawatan Medikal Bedah. Charlene J. Reeves, Bayle Roux, Robin Lockhart. Penerjemah Joko Setyono. Penerbit Salemba Media. Edisi I. 2002.