Laman

Kumpulan askep

Thursday, July 18, 2013

ASKEP FRAKTUR



TINJAUAN TEORI



A.    PENGERTIAN
Fraktur didefinisikan sebagai deformitas linear atau terjadinya diskontinuitas tulang yang disebabkan oleh rudapaksa. Fraktur dapat terjadi akibat trauma atau karena proses patologis. Fraktur akibat trauma dapat terjadi akibat perkelahian, kecelakaan lalulintas, kecelakaan kerja, luka tembak, jatuh ataupun trauma saat pencabutan gigi. Fraktur patologis dapat terjadi karena kekuatan tulang berkurang akibat adanya kista, tumor jinak atau ganas rahang, osteogenesis imperfecta, osteomyelitis, osteomalacia, atrofi tulang secara menyeluruh atau osteoporosis nekrosis atau metabolic bone disease. Akibat adanya proses patologis tersebut, fraktur dapat terjadi secara spontan seperti waktu bicara, makan atau mengunyah.
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. (Brunner and Suddarth, 2001)
Fraktur adalah putusnya kontinuitas sebuah tulang yang ditandai oleh rasa nyeri, pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan dan krepitasi.
(Brooker, 2001)
Mandibula merupakan tulang yang kuat, tetapi pada beberapa tempat dijumpai adanya bagian yang lemah. Daerah korpus mandibula terutama terdiri dari tulang kortikal yang padat dengan sedikit substansi spongiosa sebagai tempat lewatnya pembuluh darah dan pembuluh limfe. Daerah yang tipis pada mandibula adalah angulus dan sub condylus sehingga bagian ini termasuk bagian yang lemah dari mandibula. Selain itu titik lemah juga didapatkan pada foramen mentale, angulus mandibula tempat gigi molar III terutama yang erupsinya sedikit, kolum kondilus mandibula terutama bila trauma dari depan langsung mengenai dagu maka gayanya akan diteruskan kearah belakang.



B.     PATOFISIOLOGI
Fraktur disebabkan oleh adanya trauma (langsung dan tidak langsung), stress fatique (kelelahan akibat tekanan berulang) dan pathologis. Karena adanya tekanan atau daya yang mengenai tulang  maka akan mengakibatkan terjadinya fraktur dan perdarahan biasanya terjadi disekitar tempat patahan dan kedalam jaringan lunak disekitar tulang tersebut. Bila terjadi hematoma maka pembuluh darah vena akan mengalami pelebaran sehingga terjadi penumpukan cairan dan kehilangan leukosit yang berakibat terjadinya perpindahan, menimbulkan implamasi atau peradangan yang menyebabkan bengkak dan akhirnya terjadi nyeri. Selain itu karena kerusakan pembuluh darah kecil atau besar pada waktu terjadi fraktur menyebabkan tekanan darah menjadi turun, begitupula dengan suplai darah ke otak sehingga kesadaran pun menurun yang mengakibatkan syok hipovolemi. Bila mengenai jaringan lunak maka akan terjadi luka dan kuman akan mudah untuk masuk sehingga mudah terinfeksi dan lama kelamaan akan berakibat delayed union dan mal union dan yang tidak terinfeksi mengakibatkan non union. Apabila fraktur mengenai peristeum atau jaringan tulang dan korteks maka akan mengkibatkan deformitas, krepitasi dan pemendekan ekstremitas. Berdasarkan proses diatas tanda dan gejalanya yaitu nyeri/tenderness, deformitas/perubahan bentuk, bengkak, peningkatan suhu tubuh/demam, krepitasi, kehilangan fungsi dan apabila hal ini tidak teratasi, maka akan menimbulkan komplikasi yaitu komplikasi umum misalnya : syok, sindrom remuk dan emboli lemak. Komplikasi dini misalnya : cedera syaraf, cedara arteri, cedera organ vital, cedera kulit dan jaringan lunak, sedangkan komplikasi lanjut misalnya : delayed union, mal union, non union, kontraktur sendi dan miossitis ossifycans, avaseural necrosis dan osteo arthritis.




Pathway fraktur
Tahap penyembuhan tulang menurut, (Rasjad, 1998) :
Setelah tulang mengalami fraktur
1.      Stadium Hematum
Pada stadium ini karena pembuluh darah pecah, maka terjadi perdarahan pada daerah fraktur. Hematum terbentuk mengelilingi daerah tulang yang mengalami fraktur, kemudian setelah 24 jam aliran darah pada daerah fraktur berkurang sehingga terjadi penggabungan haematum dengan fibroblast dan membentuk fibrin.
2.      Stadium proliferasi
Dalam 48-72 jam setelah terjadi fraktur, sel sel jaringan baru mulai terbentuk pada daerah fraktur.
3.      Stadium Pembentukan Kallus
Dalam waktu 6-10 hari fraktur, terjadi perubahan granulasi jaringan dan pembentukan kallus, pertumbuhan jaringan berlangsung secara terus menerus sampai fragmen menyatu kembali memerlukan waktu 3-4 minggu.

4.      Stadium Ossifikasi
Ossifikasi terjadi 3 -10 minggu, kallus yang menetap berubah menjadi tulang yang kaku, akibat dari penumpukan garam-garam mineral menutup dan meliputi ujung-ujung fragmen tulang yang kemudian akan menjadi tulang.
5.      Stadium konsolidasi
Setelah pembentukan tulang, kallus diremodeling oleh aktivitas osteoblast dan osteoklast
Jenis-jenis fraktur antara lain :
1.        Menurut garis fraktur :
a.       Fraktur komplit : Apabila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua konteks tulang
b.      Fraktur inkomplit : Apabila garis patah tidak melalui penampang tulang.

2.        Menurut bentuk fraktur dan hubungannya dengan mekanisme trauma.
a.       fraktur tranfersal : Fraktur yang garis patahannya tegak lurus terhadap sumbu panjang tulang. Segmen patah tulang direposisi atau direduksi kembali ketempatnya semula, maka segmen akan stabil dan biasanya akan mudah dikontrol dengan bidai gips
b.      Fraktur patah oblique : Fraktur dimana garis patahannya membentuk sudut terhadap tulang. Fraktur ini tidak stabil.
c.       Fraktur serial : Fraktur ini terjadi akibat torsi pada ekstremitas. Menimbulkan sedikit kerusakan jaringan lunak dan cenderung cepat sembuh dengan imobilisasi luar.
d.      Fraktur kompresi : Fraktur yang terjadi ketika dua tulang  menumpuk tulang ketiga yang berada diantaranya, seperti satu vertebra dengan vertebra lain.
e.       Fraktur anulasi : Fraktur yang memisahkan fragmen tulang pada tempat insisi tendon atau ligament. Contohnya fraktur patella




3.         Menurut jumlah garis fraktur
a.       Fraktur komminute : Terjadi banyak garis fraktur atau banyak fragmen kecil yang terlepas
b.      Fraktur segmental : Apabila garis patah lebih dari satu tetapi tidak berhubungan sehingga satu ujung yang tidak memiliki pembuluh darah menjadi sulit untuk sembuh.
c.       Fraktur multiple : Garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang berlainan tempat.

4.         Menurut hubungannya antara fragmen dengan dunia luar
a.    Fraktur  terbuka : Apabila terdapat luka yang menghubungkan tulang yang fraktur dengan udara luar atau permukaan kulit.
Fragmen terbuka dibagi menjadi tiga tingkat yaitu :
Ø  Pecah tulang menusuk kulit, kerusakan jaringan sedikit terkontaminasi ringan, luka kurang dari 1 cm.
Ø  Kerusakan jaringan sedang, potensial infeksi lebih besar dari 1 cm
Ø  Luka besar sampai dengan 8 cm, kehancuran otot, kerusakan neuromaskular, kontaminasi besar.
Ø  Grade/derajat fraktur terbuka :
·           Grade I : Sakit jelas dan sedikit kerusakan kulit.
·           Grade II : fraktur terbuka merobek kulit dan otot.
·           Grade III : banyak sekali jejas kerusakan kulit otot, jaringan syaraf, pembuluh darah serta luka sebesar 6-8cm.
b.    Fraktur tertutup : Terjadi pada tulang yang abnormal atau sakit. Penyebab terbanyaknya adalah osteoporosis dan osteomalacia.




C.    PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan Fraktur secara umum menurut, (Rasjad, 1998), Sebelum mengambil keputusan untuk melakukan penatalaksanaan definitif, prinsip penatalaksanaan fraktur ada 4R yaitu :
1.      Recognition : Diagnosa dan penilaian fraktur. Prinsip pertama adalah mengetahui dan menilai keadaan fraktur dengan anamnesis, pemeriksaan klinis dan radiologiy. Pada awal pengobatan perlu diperhatikan : lokasi fraktur, bentuk fraktur, menentukan teknik yang sesuai untuk pengobatanm komplikasi yang mungkin terjadi selama pengobatan.

2.      Reduction, tujuannya untuk mengembalikan panjang dan kesegarisan tulang
Dapat dicapai dengan manipulasi tertutup atau reduksi terbuka progresi. Reduksi tertutup terdiri dari penggunaan traksi manual untuk menarik fraktur kemudian memanipulasi untuk mengembalikan kesegarisan normal atau dengan traksi mekanis. Reduksi terbuka diindikasikan jika reduksi tertutup gagal atau tidak memuaskan. Reduksi terbuka merupakan alat fiksasi internal yang digunakan untuk mempertahankan dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid seperti pen, kawat, skrup dan plat. Open Reduction Internal Ficsation (ORIF) yaitu dengan pembedahan terbuka akan mengimobilisasikan fraktur dengan melakukan pembedahan untuk memasukkan skrup atau pen ke dalam fraktur yang berfungsi untuk memfiksasi bagian bagian tulang yang fraktur secara bersama sama.

3.      Retention, Imobilisasi fraktur tujuannya untuk mencegah pergeseran fragmen dan Mencegah pergerakan yang dapat mengancam union. Untuk mempertahankan reduksi (ekstremitas yang mengalami fraktur) adalah dengan pemasangan wire, plate, traksi.

4.      Rehabilitation, mengembalikan aktifitas fungsional seoptimal mungkin


D.    PENGKAJIAN
Pengkajian pada klien fraktur menurut Doengoes, (2000) diperoleh data sebagai berikut :
1.        Aktivitas (istirahat)
Tanda : Keterbatasan / kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (mungkin segera fraktur itu sendiri atau terjadi secara sekunder dari pembengkakan jaringan nyeri)

2.        Sirkulasi
Tanda : Hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respon terhadap nyeri) atau hipotensi ( kehilangan darah), takikardia ( respon stress, hipovolemia), penurunan / tidak ada nadi pada bagian distal yang cedera : pengisian kapiler lambat, pucat pada bagian yang terkena pembengkakan jaringan atau massa hepatoma pada sisi cedera.

3.        Neurosensori
Gejala : Hilang sensasi, spasme otot, kebas / kesemutan (panastesis)
Tanda : Deformitas lokal, angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi, spasme otot, terlihat kelemahan / hilang fungsi, agitasi (mungkin berhubungan dengan nyeri atau trauma)

2.        Nyeri / kenyamanan
Gejala : Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area jaringan / kerusakan tulang : dapat berkurang pada imobilisasi ; tidak ada nyeri akibat kerusakan saraf, spasme / kram otot (setelah imobilisasi)


3.        Keamanan
Tanda : Laserasi kulit, avulse jaringan, perubahan warna, pendarahan, pembengkakan local (dapat meningkat secara bertahap atau tiba-tiba)

4.        Penyuluhan
Gejala : Lingkungan cedera

5.        Pemeriksaan Diagnostik
a.             Pemeriksaan roentgen : Menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma
b.             Skan tulang, tomogram, skan CT/MRI : memperlihatkan fraktur, juga dapat di gunakan untuk mengidentifikasi jaringan lunak
c.             Arteriogram : Dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
d.            Hitung darah lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi). Peningkatan jumlah SOP adalah respon stress setelah trauma.
e.             Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk kirens ginjal.
f.              Profil koagulasi : Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfuse multiple atau cedera hati.


E.     DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan menurut Doengoes, (2000) ditemukan diagnosa keperawatan sebagai berikut :
1.             Risiko tinggi terhadap trauma berhubungan dengan kehilangan integritas tulang (fraktur).
2.             Nyeri (akut) berhubungan dengan spasme otot gerakan fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan lunak, alat traksi/imobilisasi, stress, ansietas
3.             Resiko tinggi terhadap disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan penurunan/interupsi aliran darah : cedera vaskuler langsung, edema berlebihan, pembentukan thrombus, hipovolemia.
4.             Risiko tinggi terhadap kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan pertukaran aliran : darah/emboli lemak, perubahan membran alveolar/kapiler intestisial, edema paru, kongesti.
5.             Kerusakan mobilitas  fisik  berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskuler : nyeri/ketidaknyamanan : terapi restriktif (imobilisasi tungkai).
6.             Risiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cedera tusuk : fraktur terbuka : bedah perbaikan; pemasangan traksi,pen, kawat, skrup, perubahan sensasi, sirkulasi :  akumulasi ekskresi/secret.
7.             Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer ; kerusakan kulit, trauma jaringan, terpajan pada lingkungan, prosedur infasif, traksi tulang.
8.             Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang terpajan/mengingat, salah interprestasi informasi/tidak mengenal sumber informasi.


F.     PERENCANAAN
Setelah diagnosa keperawatan ditemukan, dilanjutkan dengan menyusun perencanaan untuk masing masing diagnosa yang meliputi prioritas diagnosa keperawatan, penetapan tujuan dan kriteria evaluasi sebagai berikut :
1. Resiko tinggi terhadap trauma berhubungan dengan kehilangan integritas tulang (fraktur).
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperaatan diharapkan trauma tidak terjadi

Kriteria evaluasi :
1) Mempertahankan stabilitas dan posisi fraktur
2) Menunjukan mekanika tubuh yang meningkatkan stabilitas pada sisi fraktur.
3) Menunjukan pembentukan kallus/mulai penyatuan fraktur yang tepat.
Intervensi :
1)      Pertahankan tirah baring atau ekstremitas sesuai indikasi, berikan sokongan sendi di atas dan di bawah fraktur bila bergerak.
2)      Letakkan papan di bawah tempat tidur, pertahankan posisi netral pada bagian yang sakit dengan bantal pasir, gulungan trochanter, papan kaki.
3)       Kaji integritas alat fiksasi eksternal.
4)       Kaji tulang foto atau evaluasi.

2. Nyeri (akut) berhubungan dengan spasme otot gerakan ragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan lunak, alat traksi/imobilisasi, stress, ansietas.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri berkurang/hilang
Kriteria evaluasi :
1)  Menyatakan nyeri hilang
2)  Menunjukan sikap santai
3) Menunjukan keterampilan penggunaan relaksasi dan aktifitas terapeutik sesuai indikasi untuk situasi individu.
Intervensi :
1)      Kaji tingkat nyeri, lokasi nyeri, kedalaman, karakteristik serta intensitas
2)      Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips, pemberat,      traksi
3)      Tinggikan dan dukung ekstremitas yang terkena.
4)      Berikan alternatif tindakan kenyamanan misalnya : pijatan dan perubahan posisi.
5)      Ajarkan menggunakan teknik manajemen stress misalnya : relaksasi progresif, latihan nafas dalam.
6)      Kolaborasi, berikan analgetik sesuai program.

3. Resiko tinggi terhadap disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan penurunan/interupsi aliran darah ; cedera vaskuler langsung, edema berlebihan, pembentukan thrombus, hipovolemia.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan disfungsi neurovaskuler tidak terjadi.

Kriteria evaluasi.
1)      Mempertahankan perfusi jaringan dibuktikan oleh terabanya nadi, kulit kering/hangat,sensasi biasa, tanda vital stabil.
2)      Haluaran urin adekuat untuk situasi individu.
Intervensi :
1)      Evaluasi adanya atau kualitas nadi perifer distal terhadap cedera melalui palpasi, bandingkan dengan ekstremitas yang satu.
2)      Kaji aliran kapiler, warna kulit dan kehangatan distal pada fraktur.
3)      Pertahankan peninggian ekstremitas yang cedera kecuali dikontraindikasikan dengan keyakinan danya sindrom kompartement.
4)      Anjurkan klien untuk secara rutin latihan ROM
5)      Beri obat sesuai indikasi.

4. Risiko tinggi terhadap kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan alairan darah / emboli lemak, perubahan membrane alveolar/kapiler, edema paru kongesti.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kerusakan pertukaran gas tidak terjadi.
Kriteria evaluasi :
Mempertahankan fungsi pernafasan adekuat, dibuktikan oleh tidak adanya dispnea/sianosis, frekuensi pernafasan dan GDA dalam batas normal.
Intervensi :
1)      Observasi frekuensi pernapasan dan upayanya.
2)      Instruksikan dan Bantu dalam latihan nafas dalam dan batuk, reposisi dengan sering.
3)      Berikan tambahan O2 bila diindikasikan.
4)      Berikan obat sesuai indikasi.

5. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskuler : nyeri / ketidaknyamanan : terapi restriktif (imobilisasi tungkai)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kebutuhan mobilitas fisik terpenuhi.
Kriteria evaluasi :
1)      Meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin.
2)      Mempertahankan posisi fungsional.
3)      Meningkatkan kekuatan/fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh.
4)      Menunjukan teknik yang memampukan melakukan aktivitas.
Intervensi :
1)      Kaji derajat imobilisasi yang dihasilkan oleh cidera atau pengobatan dan perhatikan persepsi klien tehadap imobilisasi.
2)      Instruksikan dan Bantu dalam gerak aktif atau pasif pada ekstremitas yang sakit dan tidak sakit.
3)      Bantu dan dorong perawatan diri dan Bantu imobilitas dengan kursi roda dan tongkat.
4)      Observasi TTV.
5)      Konsul dengan ahli terapi atau okupasi dan spesifikasi rehabilitasi.

6. Risiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan cedera tusuk : fraktur terbuka: bedah perbaikan: pemasangan traksi pen, kawat, skrup, perubahan sensasi, akumulasi eskresi/secret.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kerusakan integritas kulit tidak terjadi.
Kriteria evaluasi :
1)      Menyatakan ketidaknyamanan hilang.
2)      Menunjukan teknik/prilaku untuk mencegah kerusakan kulit.
3)      Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu.
Intervensi :
1)      kaji kulit untuk luka terbuka, benda asing, kemerahan, perdarahan dan perubahan warna.
2)      Massage kulit dan penonjolan tulang
3)      Ubah posisi sesering mungkin
4)      Bersihkan kelebihan plester dari kulit
5)      Massage kulit disekitar balutan luka dengan alcohol
6)      Letakan bantalan pelindung dibawah kaki dandi atas tonjolan tulang.

7. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer ; kerusakan kulit, trauma jaringan, terpajan pada lingkungan, prosedur infasif traksi tulang.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan infeksi tidak terjadi
Kriteria evaluasi :
Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas drinase purulen atau eritema dan demam.
Intervensi :
1)      Inspeksi untuk adanya iritasi atau robekan kontinuitas
2)      Observasi tanda tanda infeksi
3)      Lakukan perawatan luka sesuai program
4)      Observasi hasil laboratorium dan tanda tanda vital
5)      Berikan obat antibiotik sesuai program.

8.      Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi,prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan/mengingat, salah interpretasi informasi/tidak mengenal sumber informasi.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan mengerti tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan.
Kriteria evaluasi :
1)      Menyatakan pemahaman tentang kondisi prognosis dan pengobatan
2)      Melakukan dengan benar prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan tindakan.
Intervensi :
1)      Kaji ulang prognosis dan harapan yang akan datang
2)      Beri penguat metode mobilotas dan ambulasi sesuai program dengan fisioterapi bila diindikasikan
3)      Anjurkan penggunaan buck spalk
4)      Buat daftar perkembangan aktifitas sejauh mana klien dapat melakukan tindakan mandiri dan yang memerlukan bantuan.



G.    PELAKSANAAN
Pelaksanaan merupakan tindakan mandiri dasar berdasarkan ilmiah, masuk akal dalam melaksanakan yang bermanfaat bagi klien yang diantisipasi berhubungan dengan duagnosa keperawatan dan tujuan yang telah ditetapkan (Bulechek and Mc. Closkey, 1985). Pelaksanaan merupakan pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. Tindakan keperawatan yang dilakukan pada klien dapat berupa tindakan mandiri maupun kolaborasi.
Dalam pelaksanaan tindakan langkah langkah yang dilakukan adalah mengkaji kembali keadaan klien, validasi rencana keperawatan, menentukan kebutuhan dan bantuan yang diberikan serta menetapkan strategi tindakan dilakukan. Selain itu juga dalam pelaksanaan tindakan semua tindakan yang dilakukan pada klien dan respon klien pada setiap tindakan keperawatan didokumentasiakn dalam catatan keperawatan. Dalam pendokumentasian catatan keperawatan hal yang perlu didokumentasikan adalah waktu tindakan dilakukan, tindakan dan respon klien serta diberikan tanda tangan sebagai aspek legal dari dokumentasi yang dilakukan.


H.    EVALUASI
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan yang mengukur seberapa jauh tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai berdasarkan standar atau kriteria yang telah ditetapkan. Evaluasi merupakan aspek penting didalam proses keperawatan, karena menghasilkan kesimpulan apakah perencanaan keperawatan diakhiri atau ditinjau kembali atau dimodifikasi. Dalam evaluasi prinsip objektifitas, reliabilitas dan validitas dapat dipertahankan agar keputusan yang diambil tepat.
Evaluasi proses keperawatan ada dua yaitu evaluasi proses dan evaluasi hasil. Evalusi proses/formatif adalah evaluasi yang dilakukan segera setelah tindakan dilakukan  dan didokumentasikan pada catatan keperawatan. Sedangkan evaluasi hasil/sumatif adalah evaluasi yang dilakukan untuk mengukur sejauh mana pencapaian tujuan yang ditetapkan, dan dilakukan pada akhir asuhan.


DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Suddarth, ( 2002 ), Buku Ajar Perawatan Medikal Bedah, Volume 2, Edisi 8, Alih Bahasa : dr. Andry Hartono, dr. H.Y.Kuncara, Elyna S. Laura Siahan, S.kp dan Agung waluyo, S.Kp. Jakarta : EGC
Carpenito-moyet, Lynda juall, (2006), buku saku diagnosis keperawata, edisi 8, alih bahasa : yasmin asih. Jakarta : EGC
Corwin, Elizabeth. J, ( 2001 ), Buku Saku Patofisiologi, Jakarta : EGC
Doenges, Marilynn. E. at al, ( 2000 ), Rencana Asuhan Keperawatan : PedomanPerencanaan Pendokumentasaian Perawatan Pasien, edisi 3, Alih Bahasa : I Made Kariasa, S. Kp, Ni Made Sumarwati,S. Kp, Monica Ester, S. Kp, Yasmin Asih, S. Kp. EGC, Jakarta
Muttaqin,Arif. (2011).Buku Saku Gangguan Muskuloskeletal: Aplikasi Pada Praktik Klinik Keperawatan. Jakarta : EGC

No comments:

Post a Comment

komentar