Laman

Kumpulan askep

Wednesday, July 17, 2013

TEKNIK PERAWATAN LUKA



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar belakang
Pada saat ini, perawatan luka telah mengalami perkembangan yang sangat pesat terutama dalam dua dekade terakhir ini. Teknologi dalam bidang kesehatan juga memberikan kontribusi yang sangat untuk menunjang praktek perawatan luka ini. Disamping itu pula, isu terkini yang berkait dengan manajemen perawatan luka ini berkaitan dengan perubahan profil pasien, dimana pasien dengan kondisi penyakit degeneratif dan kelainan metabolic semakin banyak ditemukan. Kondisi tersebut biasanya sering menyertai kekompleksan suatu luka dimana perawatan yang tepat diperlukan agar proses penyembuhan bisa tercapai dengan optimal.
Dengan demikian, perawat dituntut untuk mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang adekuat terkait dengan proses perawatan luka yang dimulai dari pengkajian yang komprehensif, perencanaan intervensi yang tepat, implementasi tindakan, evaluasi hasil yang ditemukan selama perawatan serta dokumentasi hasil yang sistematis. Isu yang lain yang harus dipahami oleh perawat adalah berkaitan dengan cost effectiveness. Manajemen perawatan luka modern sangat mengedepankan isu tersebut. Hal ini ditunjang dengan semakin banyaknya inovasi terbaru dalam perkembangan produk-produk yang bisa dipakai dalam merawat luka

1.2.Tujuan
1.2.1.      Tujuan Umum
Agar mahasiswa dapat mengetahui tentang Perawatan Luka: Luka Bersih, Luka Basah. Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Integumen
1.2.2.      Tujuan Khusus
1. Pengertian Luka
2. Penyembuhan luka
3. Faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka
4. Perawatan luka
BAB II
PERAWATAN LUKA

2.1. Pengertian Luka
Secara definisi suatu luka adalah terputusnya kontinuitas suatu jaringan oleh karena adanya cedera atau pembedahan. Luka ini bisa diklasifikasikan berdasarkan struktur anatomis, sifat, proses penyembuhan dan lama penyembuhan. Luka adalah rusaknya kesatuan/komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat substansi jaringan yang rusak atau hilang. Ketika luka timbul, beberapa efek akan muncul :    
1. Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ                                    
2. Respon stres simpatis                                                     
3. Perdarahan dan pembekuan darah
4. Kontaminasi bakteri
5. Kematian sel
Sedangkan klasifikasi berdasarkan struktur lapisan kulit meliputi: superfisial, yang melibatkan lapisan epidermis; partial thickness, yang melibatkan lapisan epidermis dan dermis; dan full thickness yang melibatkan epidermis, dermis, lapisan lemak, fascia dan bahkan sampai ke tulang. Berdasarkan proses penyembuhan, dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu:
a.        Healing by primary intention
Tepi luka bisa menyatu kembali, permukan bersih, biasanya terjadi karena suatu insisi, tidak ada jaringan yang hilang. Penyembuhan luka berlangsung dari bagian internal ke ekseternal.
b.        Healing by secondary intention
Terdapat sebagian jaringan yang hilang, proses penyembuhan akan berlangsung mulai dari pembentukan jaringan granulasi pada dasar luka dan sekitarnya. 
c.        Delayed primary healing (tertiary healing)
Penyembuhan luka berlangsung lambat, biasanya sering disertai dengan infeksi, diperlukan penutupan luka secara manual.
Berdasarkan klasifikasi berdasarkan lama penyembuhan bisa dibedakan menjadi dua yaitu: akut dan kronis. Luka dikatakan akut jika penyembuhan yang terjadi dalam jangka waktu 2-3 minggu. Sedangkan luka kronis adalah segala jenis luka yang tidak tanda-tanda untuk sembuh dalam jangka lebih dari 4-6 minggu. Luka insisi bisa dikategorikan luka akut jika proses penyembuhan berlangsung sesuai dengan kaidah penyembuhan normal tetapi bisa juga dikatakan luka kronis jika mengalami keterlambatan penyembuhan (delayed healing) atau jika menunjukkan tanda-tanda infeksi.

2.2. Mekanisme Terjadinya Luka
1.      Luka insisi (Incised wounds), terjadi karena teriris oleh instrumen yang tajam. Misal yang terjadi akibat pembedahan. Luka bersih (aseptik) biasanya tertutup oleh sutura seterah seluruh pembuluh darah yang luka diikat (Ligasi)
2.      Luka memar (Contusion Wound), terjadi akibat benturan oleh suatu tekanan dan dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lunak, perdarahan dan bengkak.
3.      Luka lecet (Abraded Wound), terjadi akibat kulit bergesekan dengan benda lain yang biasanya dengan benda yang tidak tajam.
4.      Luka tusuk (Punctured Wound), terjadi akibat adanya benda, seperti peluru atau pisau yang masuk kedalam kulit dengan diameter yang kecil.
5.      Luka gores (Lacerated Wound), terjadi akibat benda yang tajam seperti oleh kaca atau oleh kawat.
6.      Luka tembus (Penetrating Wound), yaitu luka yang menembus organ tubuh biasanya pada bagian awal luka masuk diameternya kecil tetapi pada bagian ujung biasanya lukanya akan melebar.
7.      Luka Bakar (Combustio)




2.3. Menurut tingkat Kontaminasi terhadap luka :
1.      Clean Wounds (Luka bersih), yaitu luka bedah tak terinfeksi yang mana tidak terjadi proses peradangan (inflamasi) dan infeksi pada sistem pernafasan, pencernaan, genital dan urinari tidak terjadi. Luka bersih biasanya menghasilkan luka yang tertutup; jika diperlukan dimasukkan drainase tertutup (misal; Jackson – Pratt). Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% - 5%.
2.      Clean-contamined Wounds (Luka bersih terkontaminasi), merupakan luka pembedahan dimana saluran respirasi, pencernaan, genital atau perkemihan dalam kondisi terkontrol, kontaminasi tidak selalu terjadi, kemungkinan timbulnya infeksi luka adalah 3% - 11%.

      2.4. Proses Penyembuhan Luka
1.      Luka akan sembuh sesuai dengan tahapan yang spesifik dimana bisa terjadi tumpang tindih (overlap)
2.      Proses penyembuhan luka tergantung pada jenis jaringan yang rusak serta penyebab luka tersebut
3.      Fase penyembuhan luka :
a.       Fase inflamasi :
  Hari ke 0-5
  Respon segera setelah terjadi injuri
  Pembekuan darah
  Untuk mencegah kehilangan darah
  Karakteristik : tumor, rubor, dolor, color, functio laesa
  Fase awal terjadi haemostasis
  Fase akhir terjadi fagositosis
  Lama fase ini bisa singkat jika tidak terjadi infeksi
b.      Fase proliferasi or epitelisasi
  Hari 3 – 14
  Disebut juga dengan fase granulasi adanya pembentukan jaringan granulasi pada luka
  Luka nampak merah segar, mengkilat
  Jaringan granulasi terdiri dari kombinasi : Fibroblasts, sel inflamasi, pembuluh darah yang baru, fibronectin and hyularonic acid
  Epitelisasi terjadi pada 24 jam pertama ditandai dengan penebalan  lapisan epidermis pada tepian luka
  Epitelisasi terjadi pada 48 jam pertama pada luka insisi
c.       Fase maturasi atau remodelling
  Berlangsung dari beberapa minggu sampai dengan 2 tahun
  Terbentuknya kolagen yang baru yang mengubah bentuk luka serta   peningkatan kekuatan jaringan (tensile strength)
  Terbentuk jaringan parut (scar tissue)
  50-80% sama kuatnya dengan jaringan sebelumnya
  Terdapat pengurangan secara bertahap pada aktivitas selular and vaskularisasi jaringan yang mengalami perbaikan.

      2.5. Faktor Yang Mempengaruhi Proses Penyembuhan Luka
1.    Status Imunologi
2.    Kadar gula darah (impaired white cell function)
3.    Hidrasi (slows metabolism)
4.    Nutriisi
5.    Kadar albumin darah (‘building blocks’ for repair, colloid osmotic pressure – oedema)
6.    Suplai oksigen dan vaskularisasi
7.    Nyeri (causes vasoconstriction)
8.    Corticosteroids (depress immune function)

2.6.  Pemilihan Balutan Luka
Balutan luka (wound dressings) secara khusus telah mengalami perkembangan yang sangat pesat selama hampir dua dekade ini. Revolusi dalam perawatan luka ini dimulai dengan adanya hasil penelitian yang dilakukan oleh Professor G.D Winter pada tahun 1962 yang dipublikasikan dalam jurnalNature tentang keadaan lingkungan yang optimal untuk penyembuhan luka. Menurut Gitarja (2002), adapun alasan dari teori perawatan luka dengan suasana lembab ini antara lain:
1.        Mempercepat fibrinolisis
       Fibrin yang terbentuk pada luka kronis dapat dihilangkan lebih cepat oleh netrofil dan sel endotel dalam suasana lembab.
2.        Mempercepat angiogenesis
       Dalam keadaan hipoksia pada perawatan luka tertutup akan merangsang lebih pembentukan pembuluh darah dengan lebih cepat.     
3.        Menurunkan resiko infeksi
       Kejadian infeksi ternyata relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan perawatan kering.
4.        Mempercepat pembentukan Growth factor
       Growth factor berperan pada proses penyembuhan luka untuk membentuk stratum corneum dan angiogenesis, dimana produksi komponen tersebut lebih cepat terbentuk dalam lingkungan yang lembab.
5.        Mempercepat terjadinya pembentukan sel aktif.
       Pada keadaan lembab, invasi netrofil yang diikuti oleh makrofag, monosit dan limfosit ke daerah luka berfungsi lebih dini.

2.7. Perawatan Luka Bersih
Perawatan luka bertujuan untuk meningkatkan proses penyembuhan jaringan juga untuk mencegah infeksi. Luka yang sering ditemui oleh bidan di klinik atau rumah sakit biasanya luka yang bersih tanpa kontaminasi misal luka secsio caesaria, dan atau luka operasi lainnya. Perawatan luka harus memperhatikan teknik steril, karena luka menjadi port de entre nya mikroorganisme yang dapat menginfeksi luka.



A.      PERSIAPAN      
1.    Mencuci tangan
2.    Menyiapkan alat-alat dalam baki/trolley
     Alat Steril dalam bak instrumen ukuran sedang tertutup:
  Pinset anatomis (2 buah)
  Pinset chirurgis (2 buah)
  Handscoon steril
  Kom steril (2 buah)
  Kassa dan kapas steril secukupnya
  Gunting jaringan/ Gunting Up Hecting (jika diperlukan)
Alat Lain:
  Gunting Verband/plester
  Plester
  Nierbekken (Bengkok)
  Lidi kapas
  Was bensin
  Alas / Perlak
  Selimut Mandi
  Kapas Alkohol dalam tempatnya
  Betadine dalam tempatnya
  Larutan dalam botolnya (NaCL 0,9%)
  Lembar catatan klien
3.    Setelah lengkap bawa peralatan ke dekat klien

B. MELAKUKAN PERAWATAN LUKA
1.            Mencuci tangan
2.            Lakukan inform consent lisan pada klien/keluarga dan intruksikan klien untuk tidak menyentuh area luka atau peralatan steril.
3.            Menjaga privacy dan kenyamanan klien dan mengatur kenyamanan klien
4.            Atur posisi yang nyaman bagi klien dan tutupi bagian tubuh selain bagian luka dengan selimut mandi.
5.            Siapkan plester untuk fiksasi (bila perlu)
6.            Pasang alas/perlak
7.            Dekatkan nierbekken
8.            Paket steril dibuka dengan benar
9.            Kenakan sarung tangan sekali pakai
10.        Membuka balutan lama
·      Basahi plester yang melekat dengan was bensin dengan lidi kapas.
·      Lepaskan plester menggunakan pinset anatomis ke 1 dengan melepaskan ujungnya dan menarik secara perlahan, sejajar dengan kulit ke arah balutan.
·      Kemudian buang balutan ke nierbekken.
·      Simpan pinset on steril ke nierbekken yang sudah terisi larutan chlorin 0,5%
11.        Kaji Luka:
Jenis, tipe luka, luas/kedalaman luka, grade luka, warna dasar luka, fase proses penyembuhan, tanda-tanda infeksi perhatikan kondisinya, letak drain, kondisi jahitan, bila perlu palpasi luka denga tangan
non dominan untuk mengkaji ada tidaknya puss.
12.        Membersihkan luka:
·      Larutan NaCl/normal salin (NS) di tuang ke kom kecil ke 1
·      Ambil pinset, tangan kanan memegang pinset chirurgis dan tangan kiri memegang pinset anatomis ke-2
·      Membuat kassa lembab secukupnya untuk membersihkan luka (dengan cara memasukkan kapas/kassa ke dalam kom berisi NaCL 0,9% dan memerasnya dengan menggunakan pinset)
·      Lalu mengambil kapas basah dengan pinset anatomis dan dipindahkan ke pinset chirurgis
·      Luka dibersihkan menggunakan kasa lembab dengan kassa terpisah untuk sekali usapan. Gunakan teknik dari area kurang terkontaminasi ke area terkontaminasi.

13.        Menutup Luka
·      Bila sudah bersih, luka dikeringkan dengan kassa steril kering yang diambil dengan pinset anatomis kemudian dipindahkan ke pinset chirurgis di tangan kanan.
·      Beri topikal therapy bila diperlukan/sesuai indikasi
·      Kompres dengan kasa lembab (bila kondisi luka basah) atau langsung ditutup dengan kassa kering (kurang lebih 2 lapis)
·      Kemudian pasang bantalan kasa yang lebih tebal
·      Luka diberi plester secukupnya atau dibalut dengan pembalut dengan balutan yang tidak terlalu ketat.
14.        Alat-alat dibereskan
15.        Lepaskan sarung tangan dan buang ke tong sampah
16.        Bantu klien untuk berada dalam posisi yang nyaman
17.        Buang seluruh perlengkapan dan cuci tangan

C.  DOKUMENTASI
1.      Hasil observasi luka
2.      Balutan dan atau drainase
3.      Waktu melakukan penggantian balutan
4.      Respon klien

2.8. Perawatan Luka Basah
Balutan basah kering adalah tindakan pilihan untuk luka yang memerlukan debridemen (pengangkatan benda asing atau jaringan yang mati atau berdekatan dengan lesi akibat trauma atau infeksi sampai sekeliling jaringan yang sehat)
Indikasi : luka bersih yang terkontaminasi dan luka infeksi yang memerlukan debridement
Tujuan :
1.            Membersihkan luka terinfeksi dan nekrotik
2.            Mengabsorbsi semua eksudat dan debris luka
3.            Membantu menarik kelompok kelembapan ke dalam balutan
Persiapan alat :
1.      Bak balutan steril :
·         Kapas balut atau kasa persegi panjang
·         Kom kecil 2 buah
·         2 pasang pinset (4 buah) atau minimal 3 buah (2 cirurgis dan 1 anatomis)
·         Aplikator atau spatel untuk salaep jika diperlukan
·         Sarung tangan steril jika perlu
2.      Perlak dan pengalas
3.      Bengkok 2 buah                                    
·         Bengkok 1berisi desinfektan 0,5 % untuk merendam alat bekas
·         Bengkok 2 untuk sampah
4.      Larutan Nacl 0,9 %
5.      Gunting plester dan sarung tangan bersih
6.      Kayu putih dan 2 buah kapas lidi
Prosedur :
1.        Jelaskan prosedur yang akan dilakuakan
2.        Dekatkan peralatan di meja yang mudah dijangkau perawat
3.        Tutup ruangan sekitar tempat tidur dan pasang sampiran
4.        Bantu klien pada posisi nyaman. Buka pakaian hanya pada bagian luka dan instruksikan pada klien supaya tidak menyentuh daerah luka atau peralatan
5.        Cuci tangan
6.        Pasang perlak pengalas di bawah area luka
7.        Pakai sarung tangan bersih, lepaskan plester dengan was bensin menggunakan lidi kapas, ikatan atau balutan. Lepaskan plester dengan melepaskan ujung dan menariknya dengan perlahan sejajar kulit dan mengarah pada balutan. Jika masih terdapat bekas plester di kulit bersihkan dengan kayu putih
8.        Angkat balutan kotor perlahan-lahan dengan menggunakan pinset atau sarung tangan, pertahankan permukaan kotor jauh dari penglihatan klien. Bila terdapat drain angkat balutan lapis demi lapis
9.        Bila balutan lengket pada luka lepaskan dengan menggunakan normal salin ( NaCl 0,9 % )
10.    Observasi karakter dari jumlah drainase pada balutan
11.    Buang balutan kotor pada sampah, hindari kontaminasi permukaan luar kantung, lepaskan sarung tangan dan simpan pinset dalam bengkok yang berisi larutan desinfektan
12.    Buka bak steril, tuangkan larutan normal salin steril  ke dalam mangkok kecil. Tambahkan kassa ke dalam normal salin
13.    Kenakan sarung tangan steril
14.    Inspeksi keadaan luka, perhatikan kondisinya, letak drain, integritas jahitan atau penutup kulit dan karakter drainase ( palpasi luka bila perlu dengan bagian tangan yang nondominan yang tidak akan menyentuh bahan steril )
15.    Bersihkan luka dengan kapas atau kassa lembab yang telah dibasahi normal salin. Pegang kassa atau kapas yang telah dibasahi dengan pinset. Gunakan kassa atau kapas terpisah untuk setiap usapan membersihkan. Bersihkan dari area yang kurang terkontaminasi ke area terkontaminasi
16.    Pasang kassa yang lembab tepat pada permukaan kulit yang luka. Bila luka dalam maka dengan perlahan buat kemasan dengan menekuk tepi kasa dengan pinset. Secara perlahan masukan kassa ke dalam luka sehingga semua permukaan luka kontak dengan kassa lembab
17.    Luka ditutup dengan kassa kering. Usahakan serat kassa jangan melekat pada luka. Pasang kassa lapisan kedua sebagai lapisan penerap dan tambahkan lapisan ketiga
18.    Luka difiksasi dengan plester atau dibalut dengan rapi,
19.    Lepaskan sarung tangan dan buang ke tempat yang telah disediakan, dan simpan pisnet yang telah digunakan pada bengkok perendam
20.    Bereskan semua peralatan dan bantu pasien merapikan pakaian, dan atur kembali posisi yang nyaman
21.    Cuci tangan setelah prosedur dilakukan
22.    Dokumentasikan hasil, observasi luka, balutan dan drainase, termasuk respon klien
Perhatian :
-          Pengangkatan balutan dan pemasangan kembali balutan  basah kering dapat menimbulkan rasa nyeri pada klien
-          Perawat harus memberikan analgesi dan waktu penggantian balutan sesuai dengan puncak efek obat
-          Pelindung mata harus digunakan jika terdapat resiko adanya kontaminasi ocular seperti percikan dari luka



















BAB III
PENUTUP

3.1.       Kesimpulan
a.         suatu luka adalah terputusnya kontinuitas suatu jaringan oleh karena adanya cedera atau pembedahan. Luka ini bisa diklasifikasikan berdasarkan struktur anatomis, sifat, proses penyembuhan dan lama penyembuhan. Luka adalah rusaknya kesatuan/komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat substansi jaringan yang rusak atau hilang. Ketika luka timbul, beberapa efek akan muncul :      
1.         Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ                
2.         Respon stres simpatis                                 
3.         Perdarahan dan pembekuan darah
4.         Kontaminasi bakteri
5.         Kematian sel
b.        Penggunaan ilmu dan teknologi serta inovasi produk perawatan luka dapat memberikan nilai optimal jika digunakan secara tepat
c.         Prinsip utama dalam manajemen perawatan luka adalah pengkajian luka yang komprehensif agar dapat menentukan keputusan klinis yang sesuai dengan kebutuhan pasien
d.        Peningkatan pengetahuan dan keterampilan klinis diperlukan untuk menunjang perawatan luka yang berkualitas

3.2.  Saran
a.         Pergunakanlah makalah ini sebagai pedoman dalam pembelajaran perawatan luka modern
b.        Jadilah calon perawat yang berkompeten dan berdaya saing.




DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta: Salemba Medika
Bobak, K. Jensen. 2005. Perawatan Maternitas. Jakarta: EGC.
Dudley HAF, Eckersley JRT, Paterson-Brown S. 2000. Pedoman Tindakan Medik dan Bedah. Jakarta: EGC.
Effendy, Christantie dan Ag. Sri Oktri Hastuti. 2005. Kiat Sukses menghadapi Operasi. Yogyakarta: Sahabat Setia.
Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta: EGC

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA DENGAN KLIEN HALUSINASI


A.    Pengertian
Halusinasi merupakan salah satu gejala yang sering ditemukan pada klien dengan gangguan jiwa, halusinasi sering diidentikkan dengan Schizofrenia.Dari seluruh klien Schizofrenia 70% diantaranya mengalami halusinasi.
Gangguan persepsi di mana seseorang mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. (Maramis,1998)
Ketidakmampuan klien dalam mengidentifikasi dan menginterpretasikan stimulus yang ada sesuai yang diterima oleh panca indra yang ada (Fortinash, 1995)
B.     Etiologi
1)      Factor Predisposisi
a.       Faktor Perkembangan
Tugas perkembangan klien yang tergangggu misalnya rendahnya control dan kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah frustasi, hilang percaya diri dan lebih rentan terhadap stress.
b.      Faktor Sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungannya sejak bayi (Unwanted Child) akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya kepada lingkungannya.
c.       Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress yang berlebihan dialami seseorang maka didalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang bersifat halusinogenik neurokimia seperti Buffofenon dan Dimetytranferase (DMP). Akibat stress berkepanjangan menyebabkan teraktivasinya neurotransmitter ota. Misalnya terjadi ketidakseimbangan asetilkolin dan dopamine.
d.      FaktorPsikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertangguangjawab mudah terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif.Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan klien dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya.Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam hayal.

e.       FaktorGenetikdan Pola Asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orangtua skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia.Hasil menunjukkan bahwa factor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh terhadap penyakit ini.
2)      Faktor Presipitasi
a.       Perilaku
Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan tidak aman, gelisah dan bingung, perilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak nyata.
b.      Psikopatologi
Halusinasi merupakan bentuk yang paling sering dari gangguan persepsi.Bentuk halusinasi ini bisa berupa suara-suara bising atau mendengung, tapi yang paling penting berupa kata-kata yang tersusun dalam bentuk kalimat yang agak sempurna.Biasanya kalimat tadi membicarakan mengenai keadaan pasien sendiri atau yang dialamatkan pada pasien itu, akibatnya pasien bisa bertengkar atau bicara dengan suara halusinasi itu.Bisa pula pasien terlihat seperti bersikap mendengar atau bicara-bicara sendiri atau bibirnya bergerak-gerak.Psikopatologi dari halusinasi yang pasti belum diketahui. Banyak teori  yang diajukan yang menekankan pentingnya factor-faktor psikologik, fisiologik dll. Ada yang mengatakan bahwa dalam keadaan terjaga yang normal otak dibombardir oleh aliran stimulus yang dating dari dalam tubuh ataupun luar tubuh. Input ini akan menginhibisi persepsi yang lebih dari munculnya ke alam sadar. Bila input ini dilemahkan atau tidak ada sama sekali seperti kita jumpai dalam keadaan normal atau psatologis maka materi-materi yang ada dalam unconscious atau preconscious bisa dilepaskan dalam bentuk halusinasi. Pendapat lain mengatakan bahwa halusinasi dimulai dengan adanya keinginan yang direpresi ke unconscious dan kemudian karena sudah retaknya kepribadian dan rusaknya daya menilai realitas maka keinginan tadi diproyeksikan keluar dalam bentuk stimulus externa.


C.    Jenis – jenis Halusinasi
D.    Fase – Fase Halusinasi
Proses terjadinya halusinasi (Stuart & Laraia, 1998) dibagi menjadi empat fase yang terdiri dari:
1.      Fase 1 comforting
Klien mengalami kecemasan, stress, perasaan terpisah dan kesepian, klien mungkin melamun, memfokuskan pikirannnya kedalam hal-hal menyenangkan untuk menghilangkan stress dan kecemasannya.Tapi hal ini bersifat sementara, jika kecemasan datang klien dapat mengontrol kesadaran dan mengenal pikirannya namun intesitas persepsi meningkat.Individu mengenali bahwa pikiran-pikiran dan pengalaman sensori berada dalam kendali kesadaran jika ansietas dapat ditangani.Nonpsikotik.Tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai.Mengerakan bibir tanpa suara.Pergerakan mata yang cepat.Respon verbal yang lambat jika sedang asyik.Diam dan asyik sendiri.
2.      Fase 2 condemning
Halusinasi menjadi menjijikan.Pengalaman sensori menjijikan dan menakutkan.Klien mulai lepas kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber yang dipersepsikan. Klien mungkin mengalami dipermalukan oleh pengalaman sensori dan menarik diri dari orang lain. Psikotik ringan.Meningkatnya tanda-tanda sistem syaraf otonom akibat ansietas seperti peningkatan denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah.Rentang perhatian menyempit.Asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan membedakan halusinasi dan realita.
3.      Fase 3 controlling
Ansietas Berat Pengalaman sensori menjadi berkuasa.Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan menyerah pada halusinasi tersebut.Isi halusinasi menjadi menarik.Klien mungkin mengalami pengalaman kesepian jika sensori halusinasi berhenti. PsikotikKemauan yang dikendalikan halusinasi akan lebih diikuti. Kesukaran akan berhubungan dengan orang lain. Rentang perhatian hanya beberapa detik atau menit.Adanya tanda-tanda fisik, ansietas berat berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi perintah.
4.      Fase 4 conquering
Panik.Umumnya menjadi melebur dalam halusinasinya.Pengalaman sensori menjadi mengancam Jika klien mengikuti perintah halusinasi. Halusinasi berakhir dari beberapa jam atau hari jika tidak ada intervensi terapeutik. Psikotik Berat. Perilaku teror akibat panik .Potensi kuat suicide atau homicide.Aktivitas fisik merefleksikan isi halusinasi seperti perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri, atau katatonia.Tidak mampu berespon lebih dari satu orang.



E.     Manifestasi Klinis
            Tahap I
a. Menyeringai atau tertawa yang tidak sesuai
b. Menggerakkan bibirnya tanpa menimbulkan suara
c. Gerakan mata yang cepat
d. Respon verbal yang lambat
e. Diam dan dipenuhi sesuatu yang mengasyikkan
            Tahap II
a. Peningkatan sistem saraf otonom yang menunjukkan ansietas misalnya peningkatan
nadi, pernafasan dan tekanan darah
b. Penyempitan kemampuan konsenstrasi
c. Dipenuhi dengan pengalaman sensori dan mungkin kehilangan kemampuan untuk
membedakan antara halusinasi dengan realitas.
Tahap III
a. Lebih cenderung mengikuti petunjuk yang diberikan oleh halusinasinya daripada
menolaknya
b. Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain
c. Rentang perhatian hanya beberapa menit atau detik
d. Gejala fisik dari ansietas berat seperti berkeringat, tremor, ketidakmampuan untuk
mengikuti petunjuk
Tahap IV
a. Prilaku menyerang teror seperti panik
b. Sangat potensial melakukan bunuh diri atau membunuh orang lain
c. Kegiatan fisik yang merefleksikan isi halusinasi seperti amuk, agitasi, menarik diri atau
katatonik
d. Tidak mampu berespon terhadap petunjuk yang kompleks
e. Tidak mampu berespon terhadap lebih dari satu orang

F.     ASUHAN KEPERAWATAN
Klien yang mengalami halusinasi sukar untuk mengontrol diri dan sukar untuk berhubungan dengan orang lain. Untuk itu perawat harus mempunyaikesadaran yang tinggi agar dapat mengenal, menerima dan mengevaluasi perasaan sendiri sehingga dapat menggunakan dirinya secara terapeutik dalam memberikan asuhan keperawatan terhadap klien halusinasi perawat harus bersikap jujur, empati, terbuka dan selalu memberi penghargaan namun tidak boleh tenggelam juga menyangkal halusinasi yang klien alami. Asuhan keperawatan tersebut dimulai dari tahap pengkajian sampai dengan evaluasi.
1.      Pengkajian
            Pada tahap ini perawat menggali faktor-faktor yang ada dibawah ini yaitu :
a.       Faktor predisposisi.
Adalah faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress.Diperoleh baik dari klien maupun keluarganya, mengenai faktor perkembangan sosial kultural, biokimia, psikologis dan genetik yaitu faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress.
-          Faktor Perkembangan
Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan interpersonal terganggu maka individu akan mengalami stress dan kecemasan.
-          Faktor Sosiokultural
Berbagai faktor dimasyarakat dapat menyebabkan seorang merasa disingkirkan oleh kesepian terhadap lingkungan tempat klien di besarkan.
-          Faktor Biokimia
                                    Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Dengan adanya stress yang berlebihan dialami seseorang maka didalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimiaseperti Buffofenon dan Dimetytranferase (DMP).
-          Faktor Psikologis
Hubungan interpersonal yang tidak harmonis serta adanya peranganda yang bertentangan dan sering diterima oleh anak akanmengakibatkan stress dan kecemasan yang tinggi dan berakhir dengan gangguan orientasi realitas.

-          Faktor genetik
                  Gen apa yang berpengaruh dalam skizoprenia belum diketahui,tetapi hasil studi menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkanhubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.

b.      Faktor Presipitasi
Yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan, ancaman/tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk koping. Adanya rangsang lingkungan yang sering yaitu seperti partisipasi klien dalam kelompok, terlalu lama diajak komunikasi, objek yang ada dilingkungan juga suasana sepi/isolasi adalah sering sebagai pencetus terjadinya halusinasi karena hal tersebut dapat meningkatkan stress dan kecemasan yang merangsang tubuh mengeluarkan zat halusinogenik.

c.       Prilaku
Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan tidak aman, gelisah dan bingung, prilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Menurut Rawlins dan Heacock, 1993 mencoba memecahkan masalah halusinasi berlandaskan atas hakekat keberadaan seorang individu sebagai mahkluk yang dibangun atas dasar unsur-unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat dilihat dari lima dimensi yaitu :
1.      Dimensi Fisik
Manusia dibangun oleh sistem indera untuk menanggapi rangsang eksternal yang diberikan oleh lingkungannya.Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.
2.      Dimensi Emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi.Isi dari halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.

3.      Dimensi Intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang akan mengontrol semua prilaku klien.
4.      Dimensi Sosial
Dimensi sosial pada individu dengan halusinasi menunjukkan adanya kecenderungan untuk menyendiri. Individu asyik dengan halusinasinya, seolah-olah iamerupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan sistem control oleh individu tersebut, sehingga jika perintah halusinasi berupa ancaman, dirinya atau orang lain individu cenderung untuk itu. Oleh karena itu, aspek penting dalam melaksanakan intervensi keperawatan klien dengan mengupayakan suatu proses interaksi yang menimbulkan pengalaman interpersonal yang memuaskan, serta mengusakan klien tidak menyendiri sehingga klien selalu berinteraksi denganlingkungannya dan halusinasi tidak berlangsung.
5.      Dimensi Spiritual
Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk sosial, sehingga interaksi dengan manusia lainnya merupakan kebutuhan yang mendasar. Pada individu tersebut cenderung menyendiri hingga proses diatas tidak terjadi, individu tidak sadar dengan keberadaannya dan halusinasi menjadi sistem kontrol dalam individu tersebut. Saat halusinasi menguasai dirinya individu kehilangan kontrol kehidupan dirinya.
d.      Sumber Koping
            Suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi seseorang. Individu dapat mengatasi stress dan anxietas dengan menggunakan sumber koping dilingkungan. Sumber koping tersebut sebagai modal untuk menyelesaikan masalah, dukungan sosial dan keyakinan budaya, dapat membantu seseorang mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stress dan mengadopsi strategi koping yang berhasil.
e.       Mekanisme Koping
Tiap upaya yang diarahkan pada pelaksanaan stress, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri.

2.      Diagnosa Keperawatan
Masalah yang dapat dirumuskan pada umumnya bersumber dari apayang klien perlihatkan sampai dengan adanya halusinasi dan perubahan yang penting dari respon klien terhadap halusinasi. Adapun diagnosa keperawatan yang mungkin terjadi pada klien dengan halusinasi adalah sebagai berikut :
a)      Resiko perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain berhubungan dengan halusinasi
b)      Halusinasi berhubungan dengan menarik diri

3.      Intervensi Keperawatan
a.       Resiko perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain berhubungan dengan halusinasi
            Tujuan: Tidak terjadi perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain.
Kriteria hasil :
a.       Pasien dapat mengungkapkan perasaannya dalam keadaan saat ini secara verbal
b.       Pasien dapat menyebutkan tindakan yang biasa dilakukan saat halusinasi, cara memutuskan halusinasi dan melaksanakan cara yang efektif bagi klien untuk digunakan
c.       Pasien dapat menggunakan keluarga untuk mengontrol halusinasi dengan cara sering
berinteraksi dengan keluarga
d.      Pasien dapat menggunakan obat dengan benar
Intervensi :
1.      Bina Hubungan saling percaya
2.      Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya
3.      Dengarkan ungkapan klien dengan empati
4.      Adakan kontak secara singkat tetapi sering secara bertahap (waktu disesuaikan dengan kondisiklien)
5.      Observasi tingkah laku : verbal dan non verbal yang berhubungan dengan halusinasi
6.      Jelaskan pada klien tanda-tanda halusinasi dengan menggambarkan tingkah laku halusinasi
7.      Identifikasi bersama klien situasi yang menimbulkan dan tidak menimbulkan halusinasi, isi, waktu, frekuensi
8.      Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya saat alami halusinasi.
9.      Identifikasi bersama klien tindakan yang dilakukan bila sedang mengalami halusinasi.
10.  Diskusikan cara-cara memutuskan halusinasi
11.  Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan cara memutuskan halusinasi yang sesuai dengan klien

b.      Perubahan persepsi sensorik : halusinasi berhubungan dengan menarik diri
Tujuan Umum :Klien mampu mengontrol halusinasinya
Kriteria Evaluasi :
1.      Klien dapat dan mau berjabat tangan. Dengan perawat mau menyebutkan nama, mau memanggil nama perawat dan mau duduk bersama
2.      Klien dapat menyebutkan penyebab klien menarik diri
3.      Klien mau berhubungan dengan orang lain
4.      Setelah dilakukan kunjungan rumah klien dapat berhubungan secara bertahap dengan keluarga
Intervensi :
1.      Bina hubungan saling percaya
2.      Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tanda-tandanya serta beri kesempatan pada klien mengungkapkan perasaan penyebab klien tidak mau bergaul atau menarik diri
3.      Diskusikan tentang keuntungan dari berhubungan
4.      Perlahan-lahan serta klien dalam kegiatan ruangan dengan melalui tahap-tahap yang  ditentukan
5.      Beri pujian atas keberhasilan yang telah dicapai
6.      Anjurkan klien mengevaluasi secara mandiri manfaat dari berhubungan
7.      Diskusikan jadwal harian yang dapat dilakukan klien mengisiwaktunya
8.      Motivasi klien dalam mengikuti aktivitas ruangan
9.      Beri pujian atas keikutsertaan dalam kegiatan ruangan
10.  Lakukan kungjungan rumah, bina hubungan saling percaya dengan keluarga
11.  Diskusikan dengan keluarga tentang perilaku menarik diri, penyebab dan cara keluarga menghadapi.
12.  Dorong anggota keluarga untuk berkomunikasi
13.  Anjurkan anggotakeluarga secara rutin menengok klien minimal sekali seminggu


5.      Evaluasi
            Asuhan keperawatan klien dengan halusinasi berhasil jika :
a)      Klien menunjukkan kemampuan mandiri untuk mengontrol halusinasi
b)      Mampu melaksanakan program pengobatan berkelanjutan
c)      Keluarga mampu menjadi sebuah sistem pendukung yang efektif dalam membantu klienmengatasi masalahnya.